Sabtu, 27 September 2014

PENGERTIAN HUMANIORA

Ilmu Humaniora

Secara singkat, ilmu humaniora merupakan ilmu untuk memanusiakan manusia. Secara lebih rinci mengenai ilmu humaniora dapat dibaca pada artikel di bawah ini.

SEJARAH SINGKAT HUMANIORA
Penelusuran atas pengertian humaniora dalam sejarah peradaban umat manusia menjadi salah satu titik tolak yang sangat penting. Woodhouse (2002:1) dalam artikelnya yang berjudul The Nature of Humanities: Historical Perspektive menegaskan bahwa istilah humaniora yang berasal dari program pendidikan yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas sebagai faktor penting pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan istilah humanitas oleh Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam cara lain bahwasanya pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan, dan peningkatan martabat kemanusiaan dan lebih berfungsi normatif daripada deskriptif (Sastrapratedja, 1998:1).
Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan (humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan warga Negara yang bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjadi program pendidikan dasariah. Beralih pada zaman Pertengahan pendidikan humaniora berusaha menyatukan konsep paideia dengan kekristenan. Ketika memasuki zaman Renaissance, para humanis Italia menghidupkan kembali istilah humanitas, sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan menjadi studi humanitas, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filasfat. Ketika itu dibedakan antara apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang dianggap secara otentik merupakan esensi kemanusiaan. Oleh karena itu kemudian berkembang perbedaan antara studi divinitas dan studi humanitatis (Sastrapratedja, 1988:2)
Pada zaman modern, pengertian humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus, yaitu:
  1. Mengacu pada perasaan kemanusiaan dan tingkah lakuyang mengarah pada hal-hal seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan.
  2. Tujuan pendidikan liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman dalam gagasan tentang sebuah universitas.
Humanitas juga mengacu pada perkembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan utama pendidikan liberal. Selanjutnya da;am sistem pendidikan di Barat dikenal istilah artes liberales (liberal arts) dan di lingkungan Anglo-Saxon disebut “humanities”. Pendidikan humaniora dianggapmempunyai fungsi pengembangan “humanitas” dalam diri manusia (Woodhouse, 2002:2). Meskipun pada zaman Aufklarung humaniora banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi dasar pendidikan pada abad ke-18 dan 19. Pada awal abad ke-19, ditekankan perbedaan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu menjadi dua kelompok yakni Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft (Rizal Mustansyir, 2003: 124). Setelah itu humaniora tidak lagi dipandang sebagai dasar dari program pendidikan, tetapi lebih dilihat sebagai dimensi fundamental dari dunia pengetahuan manusia.
Dewasa ini pengertian humanities menurut Woodhouse (2002: 4) merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities meliputi bahasa, sastra, seni, filasfat, dan sejarah. Disini inti humanitas kadangkala ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas modern. Keadaan yang mirip berlaku pula di Indonesia. Dalam sebuah artikel Indonesia’s International Conference on Cultural Studies (2002:1) dikemukakan bahwa bidang humaniora sebagaimana halnya ilmu sosial telah berperan dan menjadi saksi nyata perkembangan fenomenal dari suatu paradigma baru dari ilmu-ilmu budaya. Paradigma baru ini mencoba memahami secara kritis bagaimana gerak budaya, dan dasar kekuatannya terletak pada karya di balik praktek-praktek budaya. Di Indonesia meskipun unsur-unsur studi budaya telah membuka atau meratakan jalan masuk ke dalam kurikulum beberapa program studi di bidang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, juga aktivitas berbagai kelompok peneliti independen, namun sebagian besar masih dipahami sebagai sisi luar dari body of knowledge. Kendatipun demikian dengan kehadiran globalisasi yang disertai dampak-dampak yang ditimbulkannya atas dunia, ada tuntutan kuat agar ilmu-ilmu budaya di Indonesia dikembangkan lebih serius. Dengan demikian ilmu budaya dapat memperdayakan ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial dalam lingkup yang lebih luas. Sastrapratedja (1998: 2-3) menegaskan bahwa humaniora pada abad XX mengalami perubahan yang mendalam dalam sistem pendidikan di Barat dikarenakan beberapa faktor seperti: proliferasi ilmu-ilmu pengetahuan alam pada abad XX; perkembangan ilmu pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) dan ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan; universitas semakin menjadi institusi yang berorientasi profesionalitas. Mahasiswa belajar di Universitas untuk menjadi seorang profesional yang akan memperoleh pekerjaan. Universitas cenderung menjadi pragmatis dan lebih cenderung memenuhi kebutuhan pasar.
Hal yang sama dapat pula dirasakan kecenderungannya di Indonesia, terlebih lagi dengan dicanangkannya otonomisasi kampus terasa kuatnya orientasi pasar, sehingga sebuah fakultas akan dihargai kualitas akademiknya manakala alumninya berhasil memasuki dunia kerja dengan masa tunggu yang relatif singkat. Disini sudah tidak dipersoalkan lagi seberapa besar peran bidang humaniora di dalam membentuk kualitas akademik seorang lulusan, yang ditonjolkan justru ia lulusan dari fakultas x dan memiliki keahlian dalam bidang x.

KARAKTERISTIK ILMU HUMANIORA
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif.  Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil aka, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukannya helikopter. Humanities sebagai kelompok ilmu pengetahuan mencakup bahasa baik bahasa modern maupun klasik, linguistik, kesusastraan, sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humanitis dan menggunakan metode humanitis. J. Drost (2002: 2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium berkembang ke quadvirium yaitu geometri, aritmatika, musik (teori akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa seorang mahasiswa harus memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang antara lain mampu membedakan macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan.
Ignas Kleden (1987: 72) menyitir pendapat J. Habermas menunjukka lima ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai berikut.
  1. Jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti.
  2. Ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh cinta).
  3. Pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan prapengertian. Pemahaman situasi orang (Rizal Mustansyir, Refleksi Filosofis atas Ilmu Ilmu Humaniora 213) lain halnya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua situasi tersebut.
  4. Komunikasi tersebut akan menjadi intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri.
  5. Kepentingan yang ada disini adalah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniora akan menghasilkan  interpretasi-interpretasi yang menungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar